Pages

Saturday, December 24, 2011

Sebuah Prosa Tentang Jilbab

 

Pada suatu hari aku melihat sehelai kain bebentuk segi empat yang sempurna. Aku melihat perempuan-perempuan membelinya di pasar, melipatnya menjadi segitiga sama sisi, lalu memakainya untuk menutupi rambut mereka. Kemudian orang-orang menyebut mereka “cantik” dan “suci”. Jadilah aku berpikir bahwa kain itu ajaib, seperti gaun dan sepatu kaca Cinderella yang diberikan Ibu Peri agar ia terlihat cantik.

Aku hendak menguji keajaibannya. Kusuruh ibu membelikan kain itu untukku. Yang berwarna putih, kataku. Karena putih itu warna yang paling suci dan bersih, bukan? Sedangkan aku tahu aku tidak putih.

Kukenakan kain putih itu menutupi rambutku, seperti perempuan-perempuan itu, dilengkapi bros cantik berwarna hijau. Hijau itu warna yang melambangkan keimanan, kata mereka. Sedangkan aku tahu aku tidak hijau.

Pada hari Jum’at, hari yang mereka pilih untuk beriman dan bertaqwa*, aku datang dengan penampilanku yang baru. Aku merasa seperti Cinderella. Mereka memujiku “cantik”. Mereka menganggap aku suci dan baik. Terbukti bahwa kain itu memang ajaib. Namun, aku yakin keajaibannya akan pudar jika dipakai terlalu lama. Bukankah sihir Ibu Peri hanya berlaku sampai jam 12 malam? Maka, aku menyimpan kain itu untuk dipakai lagi di lain waktu. Kapan-kapan saja, pikirku.

Hari berikutnya aku mendatangi mereka dengan penampilanku yang biasa. Mereka tidak memuji. Bahkan mereka memarahiku karena menanggalkan sesuatu yang suci. Seolah-olah aku menjadi buruk tanpa perlindungan kain itu.

Keesokan harinya aku kenakan kain itu lagi. Jadilah aku suci kembali, padahal aku masih aku yang biasa. Ada yang tak lazim dengan semua ini, pikirku.

Sejak itu aku tak pernah menanggalkannya. Aku tak pernah luput dari pujian yang lama-lama menjadikan aku tidak nyaman. Sampai suatu saat, aku melakukan kesalahan. Sepetak kain itu sebagai saksi, ketika aku mengotori diri, tersandung sana-sini, dan akhirnya jatuh. Tidak seperti Cinderella, tidak ada Ibu Peri yang menyelamatkan aku.

Mereka berubah, memaki-maki aku dan kain yang menutupi kepalaku. Mereka menyalahkan kain itu, menanggalkan kain-kain diatas kepala mereka sendiri. Itu “tipu daya”, ini “cuci otak”, kata mereka. Tak percaya lagi mereka bahwa kain itu cantik dan suci. Itu topeng belaka, sebuah alat untuk bersembunyi. Hingga mereka tak sudi lagi mencari-cari apa yang menjadi esensi. Yang ada hanya sensasi.

Aku masih percaya bahwa sepetak kain yang kumiliki ini ajaib. Kain ini dibeli ibuku seharga dua puluh ribu rupiah di pasar pinggir kota – kain putih dari bahan katun dengan bordir yang manis di ujung-ujungnya. Ada yang menamakannya “kerudung”. Lebih banyak yang menyebutnya sebagai “jilbab”. Ia seperti perisai, yang melindungi tubuhku dari tatapan-tatapan liar di jalanan. Karenanya, orang-orang senantiasa mendoakanku dengan untaian kalimat salam ketika berjumpa denganku.

Yang terpenting, kain ini memberikan aku asupan rasa malu. Aku malu karena telah salah dan keliru. Aku malu jika tak lagi mengikuti malu, tak menepati janji.

Apa yang terjadi bila Cinderella tak segera pergi ketika jam berdenting pukul dua belas malam?

Bukan sensasi yang patut ada. Bukan penilaian pragmatis yang mendahului dan akhirnya menghakimi. Kain ini tak pantas disalahkan atas kekeliruan aku, kamu atau mereka.

Tidak. Sehelai kain ini bukan sihir yang menjadikan aku cantik atau suci. Bukan topeng yang digunakan untuk bersembunyi atau menipu.

Semua kebaikan terletak pada esensi. Sehelai kain ini membantu kita semua menemukan kebenaran yang hakiki…

 

tentang apa itu cantik,

apa itu suci.

Profil-Muslimah-Ideal

 

****

 

“Jika aku berbuat salah, mohon jangan salahkan jilbabku, karena aku yang salah. Sebagaimana kau menganggap bahwa jilbab itu merupakan pakaian yang benar - bukan karena aku yang benar.”

 

*Di daerah aku, hari Jum’at di jadikan sebagain “Hari Imtaq” (hari iman dan taqwa). Sekolahku biasanya mengadakan ceramah umum di lapangan sekolah pada pagi hari sebelum jam masuk kelas.

1 comment: