Dinda, tenanglah. Tuhan mencintaimu karena kau baik. Karena tak putus-putus doa yang kau kirim pada-Nya. Untuk Ibu, untuk Bapak... yang kata Bapa ada di surga.
Tapi kemarin sore Kakak ke Masjid. Kata Pak Haji, mereka belum ke Surga. Mereka masih menunggu datangnya hari itu. Maka kau dan aku harus terus berdoa. “Kita tak tahu apa yang Tuhan perintahkan kepada para malaikat yang ada bersama mereka.” Begitu katanya.
Dinda, aku menghawatirkan Bapak dan Ibu. Menurutmu, apa mereka baik-baik saja? Menurutmu apa malaikat-malaikat itu mau memijat kaki Ibu? Seperti kau dan aku dulu. Kau yang kanan, aku yang kiri. Lalu Bapak menyimak, sambil minum kopi. Disana, siapa yang membuatkan Bapak kopi?
Dinda, kemarin ada yang berkata buruk tentang Bapak dan Ibu. Katanya mereka banyak berbuat maksiat selama mereka hidup. Jadi tak layak mendapat Surga, seperti yang dikatakan Bapa di Gereja.
Dinda, aku marah! Aku tak rela Bapak dan Ibu ia hina seperti itu! Maka aku biarkan marah itu keluar dan menghadap si brengsek itu. Kubuat ia menelan ludah berikut darahnya sendiri. Tanpa ampun, Dinda! Tanpa ampun, sedikitpun!
Tetapi kemudian aku harus kecewa, Dinda. Karena ternyata ia tak berdusta. Semua telah membenarkan. Semua terbuktikan.
Dinda, jangan menyesali doa-doamu. Tetap berdoalah untuk surga yang diceritakan Bapa padamu. Dan juga untuk malaikat-malaikat yang kata Pak Haji masih bersama Bapak dan Ibu. Bersabarlah Dinda, karena kau baik. Tidak seperti aku.
Maafkanlah Kakak, Dinda. Tak ada bekal untukmu malam ini. mereka melarangku pulang hari ini. Doakanlah aku, Dinda. Mungkin esok... lusa...
(2009 *an amateurs collection of poetry and prose*)
Tapi kemarin sore Kakak ke Masjid. Kata Pak Haji, mereka belum ke Surga. Mereka masih menunggu datangnya hari itu. Maka kau dan aku harus terus berdoa. “Kita tak tahu apa yang Tuhan perintahkan kepada para malaikat yang ada bersama mereka.” Begitu katanya.
Dinda, aku menghawatirkan Bapak dan Ibu. Menurutmu, apa mereka baik-baik saja? Menurutmu apa malaikat-malaikat itu mau memijat kaki Ibu? Seperti kau dan aku dulu. Kau yang kanan, aku yang kiri. Lalu Bapak menyimak, sambil minum kopi. Disana, siapa yang membuatkan Bapak kopi?
Dinda, kemarin ada yang berkata buruk tentang Bapak dan Ibu. Katanya mereka banyak berbuat maksiat selama mereka hidup. Jadi tak layak mendapat Surga, seperti yang dikatakan Bapa di Gereja.
Dinda, aku marah! Aku tak rela Bapak dan Ibu ia hina seperti itu! Maka aku biarkan marah itu keluar dan menghadap si brengsek itu. Kubuat ia menelan ludah berikut darahnya sendiri. Tanpa ampun, Dinda! Tanpa ampun, sedikitpun!
Tetapi kemudian aku harus kecewa, Dinda. Karena ternyata ia tak berdusta. Semua telah membenarkan. Semua terbuktikan.
Dinda, jangan menyesali doa-doamu. Tetap berdoalah untuk surga yang diceritakan Bapa padamu. Dan juga untuk malaikat-malaikat yang kata Pak Haji masih bersama Bapak dan Ibu. Bersabarlah Dinda, karena kau baik. Tidak seperti aku.
Maafkanlah Kakak, Dinda. Tak ada bekal untukmu malam ini. mereka melarangku pulang hari ini. Doakanlah aku, Dinda. Mungkin esok... lusa...
(2009 *an amateurs collection of poetry and prose*)
No comments:
Post a Comment