Pages

Wednesday, June 15, 2011

prosa: balada proletariat



6a01156e650ae8970c0134874e6ec1970c-800wi
sejenak kau pandangi langit yang membentang luas diatasmu. langit itu tak lagi biru. seketika kau ingin merasakan kedamaian itu sebentar saja. namun ada yang keliru dengan berita yang sampai padamu. entah keliru atau mereka sekedar merayumu, membuatmu percaya bahwa semuanya baik-baik saja.

kau lihat awan yang berwarna kelabu. bukan putih, seperti yang kau idam-idamkan, seperti yang mereka katakan. karena itu memang hanya bualan mereka tentang keadaan yang ada. atau setidaknya mereka memutarbalikkan fakta tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. agar kau merasa senang dan percaya bahwa semuanya baik-baik saja.

lalu hawa panas itu menyelimutimu. tidak seperti hangatnya pelukan dari keluarga yang berkumpul di antah berantah, sesuatu yang nyaris kau lupakan. sudah terlalu lama kau tak kembali. karena mereka menjamin bahwa apa yang dibutuhkan sudah ada buatmu dan keluargamu. maka dengan santainya kau pergi ke negeri orang, mencari sesuap nasi dan segenggam berlian untuk kau bawa pulang.

tapi kau pulang untuk menemukan bahwa tidak ada yang menyambutmu. langit tak lagi biru. nafasmu sesak dengan aroma-aroma yang tidak sedap. entah itu bau amis dari maksiat mereka yang mengaku wakil rakyat. atau bau keringat proletariat yang sudah sekian lama membanting tulang di pinggir jalan, atau kolong-kolong jembatan karena menara-menara tinggi itu tak mungkin diperuntukkan bagi mereka. belum lagi darah yang sudah tumpah. dan juga tangis yang sudah lama mengering.

kau tak mengerti lagi apa yang mereka sebut sebagai “keadilan sosial” atau “permusyawaratan perwakilan”. yang jelas bukan lagi seperti yang mereka ajarkan kepadamu saat kau masih menjadi anak ingusan yang sering tertidur di bangku paling belakang. saat pak guru menjelaskan tentang pancasila, kedaulatan negara, dan kesejahteraan rakyat. bahkan sekarang kau temukan bahwa pancasila sudah berubah. tak lagi diilhami bhinekka tunggal ika. mungkin tak lagi “panca”. dan tak lagi mengenal tuhan.

kau sadari bahwa sesuap nasi dan segenggam berlian yang kau bawa pulang tak cukup untuk impian sederhanamu untuk hidup bersama sanak saudara. karena makan 3 kali sehari pun menjadi barang mewah. kau harus menurunkan standar kemewahan yang semula berupa motor, mobil, dan rumah karena inflasi-deflasi yang tak karuan. padahal mereka bilang ekonomi sudah stabil. standar hidup sudah naik. dan kau tak perlu khawatir. karena langit itu akan semakin biru.

***

lama kau pandangi langit itu. menahan sesak di dadamu dan panas yang membakar kulitmu. disana langit itu berujung, menyentuh bumi yang sudah tak lagi hijau. namun sampai kini kau masih menaruh harapan pada janji-janji mereka. bahwa suatu saat nanti, langit akan kembali biru. awan akan kembali putih. dan kau dapat menghirup udara sejuk kedamaian.
 
kau akan menunggu detik-detik kemenangan itu. walau kemenangan itu hanya sesaat.

No comments:

Post a Comment