Pages

Friday, August 6, 2010

Medley: Ramadhan

1 Ramadhan:

Aku mencari esensi dari bulan suci. Aku mencari ruh dan semangat dari penantian satu tahun, pulang, bertemu keluarga, berkumpul, lalu bersama-sama meresapi makna bulan puasa. Aku ingin menghela napas lega. Aku ingin meregangkan sendi-sendi tubuhku dan setiap ruas pada tulang belakangku, melumat lama-lama kedamaian alam sekelilingku.

Aku mencari esensi dari bulan suci. Setelah menahan gejolak rindu seorang mahasiswa amatiran, seorang anak mami yang homesick, dan juga sebagai seorang perempuan yang katanya memang lebih cengeng daripada para lelaki (umumnya).

Aku mencari esensi dari bulan suci. Untuk sementara aku telah bebas dari himpitan udara kota. Aku telah mengasingkan diri dari modernitas, hedonisme, dan ironi dunia metropolis. Telah lama kumenanti sunyi. Namun bukan sekedar sunyi.

Aku menanti esensi dari bulan suci. Walau otakku telah sesak oleh pikiran-pikiran “kecil”, dan hatiku terbumbui nafsu.

Aku merindukan esensi dari bulan suci.

Tunggu.

Yakinkah itu rindu?

Karena ku tak yakin ia pernah terasa.

 

5 Ramadhan

Aku mencari udara segar di tempat yang seharusnya menjadi puri ketenanganku, terlepas dari kebisingan realita ala kampusku. Aku mencari penyejuk nurani di tengah manusia-manusia yang sedarah denganku – wajah-wajah yang seharusnya tak asing lagi bagiku. Namun aku mulai meragukan pencarianku.

Aku telah lama mengharapkan perubahan – suatu revolusi menuju perwujudan makna Ramadhan yang hakiki. Aku ingin mencicipi gairah penghambaan untuk-Nya lewat setiap sujud, setiap kalimat dzikir, dan desir dahaga dalam setiap shaumku.

Aku belum menemukan semangat itu di tengah kuliah, kerja freelance, dan rutinitas harianku (yang kuharap bisa membuat materi berpihak padaku). Tak juga kutemukan di dalam jiwa-jiwa mereka yang teramat berarti bagiku. Padahal telah lama kunantikan setiap detik bersama, melepas rindu, sampai aku harus bersabar lagi.

Aku tak ingin lagi sebuah Ramadhan terlewati, tak berarti. Hambar. Izinkan aku mencicipi RamadhanMu, ya Rabb! Berilah aku setitik saja!

 

Pertengahan

Ramadhan itu belum juga "wujud". Sekarang yang harus kuhadapi adalah malas dan bosan.

Ternyata aku malas tarawih karena bosan mengajak mereka untuk tarawih. Tak mungkin aku yang bosan tarawih. Bagaimana aku bisa? Toh kami jarang sekali melaksanakannya bersama-sama.

Ternyata aku malas makan karena aku bosan menyuruh mereka untuk sahur dan makan. Padahal makanan itu selalu ada. Lebih baik kubuang ke jalan agar diambil mereka-mereka yang lebih bersyukur daripada kami.

Ternyata aku juga malas tadarus karena aku bosan mendengar suara-suara dari masjid melantunkan ayat-ayat suci, sedangkan di rumah kami bising dengan film-film atau sinetron di TV.

Sudahlah. Aku sudah jenuh padamu, Ramadhan. Lebih baik kau berakhir saja!

 

Final

Ramadhan, akhirnya kau akan pergi lagi. Sayangnya, aku tak dapat merasakan kehadiranmu.

Kau memang diobral di televisi, seolah-olah mereka benar-benar menginginkanmu. Tapi kau hanyalah ladang untuk mencari untung. Mereka buat acara-acara atas namamu, mengagungkanmu... Tetapi aku melihat mereka berbuat dzalim kepadamu. Aku melihat tubuh-tubuh setengah telanjang berparade untuk menghabiskan waktu bersamamu. Lalu banci-banci yang berbangga hati atas kebancian mereka yang entah mengapa selalu membuat kami tertawa.

Ramadhan, aku kasihan padamu. Bilang saja kepada Tuhan bahwa kau tak perlu datang lagi! Karena ulah manusia, kami tak dapat mengenalmu lagi.

Ramadhan, tanyakan kepada Tuhan kapan kiamat datang. Agar kau mengetahui sisa kontrakmu dengan manusia. Agar kau mengetahui kapan kau bisa terbebas dari haram yang kami tumpahkan diatasmu.

Pergilah, Ramadhan. Bawalah kenangan tentang mereka yang benar-benar mengagungkanmu. Ingatlah sejuknya rasa syukur mereka yang bersujud bersamamu. Sampaikan kabar baik tentang mereka pada-Nya. Sedangkan untuk kami? Sudah cukup untung bila dapat menyaksikan engkau datang lagi.

Sayangnya, kami tak tahu diuntung.

 

Ramadhan, 2008

No comments:

Post a Comment